ILMU BUDAYA DASAR
KEBUDAYAAN
KERATON YOGYAKARTA
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
Disusun oleh :
Qaddafi Putra Gary
(15115470)
Mei 2016
D.I YOGYAKARTA
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.
Indonesia terdiri dari beberapa kepulauan yang tersebar disekitaran samudera hindia dan disetiap kepulauan itu terdapat berbagai macam suku-suku serta daerah. Setiap daerah di Indonesia memiliki beragam budaya yang unik dan sangat menarik perhatian masyarakat, baik masyarakat Indonesia itu sendiri maupun masyarakat asing. Salah satunya yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang paling akrab ditelinga, Jogja.
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Jogja merupakan Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman.
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menimbulkan penyingkatan nomenklatur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa Yogyakarta sering dihubungkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat sering disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walau secara geografis merupakan daerah setingkat provinsi terkecil kedua setelah DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional, dan internasional, terutama sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. (Wikipedia)
Dengan kebudayaannya yang menarik, sektor pariwisata menjadi kegiatan andalan dalam perekonomian Jogja. DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang fisik maupun yang non fisik. Potensi budaya yang fisik antara lain kawasan cagar budaya, dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya yang non fisik seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
Pada potensi budaya fisik, kawasan cagar budaya yang dimiliki Jogja beberapa diantaranya yaitu Candi Prambanan, Istana Keraton Yogyakarta, serta Masjid dan Makam peninggalan Kerajaan Mataram. Sedangkan potensi budaya non fisik masyarakat Jogja berupa budaya-budaya serta adat istiadat yang berasal dari peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
Pada perjanjian Giyanti tahun 1755 yang secara politis terbelahnya kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, juga menyangkut perjanjian budaya antara Sunan Paku Buwono III dengan Sultan Hamengku Buwono I, yaitu antara lain bahwa Kasultanan Yogyakarta tetap melestarikan budaya Mataram Islam , sedangkan Surakarta mengadakan modifikasi meski masih berpijak pada budaya Mataram Islam. Berikut ini merupakan budaya serta adat istiadat yang diterapkan oleh Keraton Yogyakarta :
· Upacara Bekakak
Upacara adat Saparan Bekakak merupakan ritual yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Saparan Bekakak dilaksanakan di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman setiap hari Jumat, antara tanggal 10 hingga 20 dalam bulan Sapar (kalender Jawa).
Asal mula upacara bekakak dikisahkan pada sepasang suami istri yang merupakan abdi dalem kesayangan Sri Sultan Hamengkubuwono I terkena musibah tertimpa reruntuhan batu kapur di Gunung Gamping. Kejadian tersebut membuat Sri Sultan mengalami kesedihan yang mendalam dan berbulan-bulan lamanya. Setelah Sri Sultan sudah merasa lebih baik, tiba-tiba dia dikejutkan oleh abdi dalem dengan berita yang sama yaitu warga Ambarketawang tertimbun reruntuhan batu kapur. Berita itu mengingatkan beliau dengan abdi dalem kesayangannya yang bernama Kyai dan Nyai Wirasuta.


· Upacara Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Upacara ini sudah dilakukan sejak jaman kerajaan Demak. Sebenarnya tujuan utama upacara ini adalah dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw (Maulid Nabi). Sekaten sendiri berasal dari istilah credo yang dalam agama Islam berarti Syahadatain. Upacara Sekaten ini ditandai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Masjid Gedhe (Masjid di dalam komplek Keraton). Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut ditabuh secara bergantian.
· Upacara Grebeg
Upacara Grebeg merupakan upacara adat yang diadakan tiga kali dalam setahun. Upacara ini digelar pada tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Maulid pada saat hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Grebeg Besar pada saat hari raya Idul Adha.
Dalam Upacara Grebeg ini terdapat arak-arakan ratusan prajurit kraton dengan menggunakan pakaian kebesaran prajurit, dan membawa senjata khusus, panji-panji, serta alat musik. Mereka berjalan mengawal Gunungan berupa tumpukan sesaji, makanan yang menyerupai gunung. Gunungan ini terdiri dari berbagai hasil bumi yang merupakan simbol kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada rakyatnya.
Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda pula. Gunungan-gunungan ini akan dibawa menuju Alun-alun Utara, Kepatihan/Jalan Malioboro dan Puro Pakualaman dengan iring-iringan prajurit berkuda dan prajurit gajah.
· Upacara Jamasan Pusaka
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.

· Upacara Labuhan
Upacara labuhan merupakan salah satu upacara adat yang sejak jaman kerajaan Mataram Islam pada abad ke XIII hingga sekarang masih diselenggarakan secara teratur dan masih berpengaruh dalam kehidupan sosial penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan upacara labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat dan negara. Meskipun yang menyelenggarakan upacara labuhan adalah keraton, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, rakyat juga turut serta.
Upacara ini dilaksanakan pada empat tempat yang berbeda yaitu Dlephi yang terletak di Wonogiri, Pantai Parangtritis yang terletak pada selatan kota Yogyakarta, Puncak Gunung Lawu yang merupakan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Puncak Gunung Merapi yang terletak di Sleman, Yogyakarta.
Upacara pemberian atau persembahan yang dikaitkan dengan para leluhur dan makhluk-makhluk halus tersebut jelas merupakan kultus leluhur, animisme dan dinamisme. Pada prakteknya kemudian upacara itu dipadukan dengan unsur-unsur agama Islam, yaitu dengan diiringi doa dan salawat.
Selain upacara adat, berbusana dan bertatakrama dalam lingkungan Keraton mempunyai beberapa aturan yang harus dipatuhi juga. Pada wanita, dalam berbusana Berkain wiron, berangkin (kemben) yang dikenakan dengan cara ”ubet-ubet”, gelung tekuk, tanpa baju dan tanpa alas kaki. Sedangkan pada pria Berblangkon, baju pranakan, kain batik dengan cara wiron engkol, berkeris (Bagi yang berpangkat bekel ke atas), dan tanpa alas kaki. Pakaian tersebut digunakan sehari-hari. Bila ada acara, mempunyai aturan tersendiri, berlaku bagi kerabat keraton, dan tidak berlaku bagi wisatawan.
Begitu juga dengan bertatakrama, di dalam Keraton terdapat tata cara yang khususu pula. Sembah hanya diberikan kepada Sri Sultan saja. Bila kita hendak melaksanakan suatu tugas selalu di dahului dengan sembah dulu.begitu pula apabila kita dari duduk hendak berdiri. Di dalam keraton semua kerabat Keraton dianggap sama, terbukti dari bahasa yang digunakan sehari-hari yakni bahasa bagongan. Sehingga tidak ada perbedaan antara yang berpangkat tinggi ataupun rendah, serta abdi dalem dan pangeran. Pada Keraton, terbagi atas dua bagian yaitu bagi perempuan di Kaputren dan bagi laki-laki di Ksatriyan. Batas ini diaktualisasikan dengan adanya Regol Manikantaya.
No comments:
Post a Comment